Bangun PLTU Baru, Greenpeace: Tagih Janji Transisi Energi dari Adaro (ADRO)

beberapa pemegang saham ADRO menyampaikan kekhawatiran dalam kegiatan itu atas rencana pembangunan PLTU batubara baru di Kalimantan Utara.
Bangun PLTU Baru, Greenpeace: Tagih Janji Transisi Energi dari Adaro (ADRO)
Salah satu pemegang saham menolak pembangunan PLTU baru. Foto Greenpeace.

rizensia - Dalam acara Rapat Umum Pemegang Saham PT Adaro Energy Tbk (ADRO), beberapa pemegang saham menyampaikan kekhawatiran dalam kegiatan itu atas rencana pembangunan PLTU batubara baru di Kalimantan Utara.

Dimana pembanguanan PLTU itu di khususkan untuk smelter aluminium milik Adaro sebesar 1,1 Gigawatt. Pemegang saham tersebut menyampaikan pesannya dengan cara membuka banner yang bertuliskan menolak pembangunan PLTU batubara baru.

Adaro sendiri menyatakan bahwa perusahaan akan transisi seperti terlihat dalam tema laporan keuangan mereka: "Transforming in to a bingger anda greener Adaro", namun sampai dengan saat ini Adaro masih mengandalkan bisnis batubara.

Produksi batubara Adaro meningkat hampir 20% menjadi 62,8 juta ton dari 52,7 juta ton di tahun 2021 dan Adaro menargetkan kenaikan produksi batubara di tahun 2023.

“Pembangunan PLTU batubara baru hanya akan memperburuk dampak krisis iklim, mencemari lingkungan, merugikan masyarakat dan mencederai komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi karbon dari sektor energi”, ucap Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Energi Greenpeace Indonesia dikutip dari Greenpeace.org.

Menurut badan International Energy Agency (IEA), dalam skenario Net Zero Emission 2050 (IEA NZE 2050), untuk menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1.5 derajat celcius seharusnya sudah tidak ada lagi pembangunan PLTU batubara baru setelah tahun 2021. Hal ini bertolak belakang dengan rencana Adaro membangun PLTU batubara baru untuk smelter aluminium Adaro.

Nantinya Smelter Adaro ini akan memproduksi 500.000 ton aluminium setiap tahun. Dengan asumsi PLTU tersebut menggunakan teknologi yang terbaik saat ini yaitu ultra super critical, maka PLTU ini diprediksikan akan menghasilkan emisi 5.2 juta ton CO2 ekuivalen per tahunnya.

Ganjar, salah satu pemegang saham Adaro, mengatakan bahwa “Krisis iklim mengancam masa depan kita dan anak cucu kita. Adaro harus menunjukan niat transisi yang serius dengan beralih dari bisnis batubara dan investasi yang lebih agresif ke sektor energi terbarukan”.

Dunia saat ini beralih dari batubara. Skenario IEA NZE 2050 menyatakan bahwa supply batu bara akan turun sampai dengan 48% selama tahun 2021 – 2030 dan 91% selama 2021 – 2050. Hal ini menunjukan investasi batu bara memiliki risiko transisi yang tinggi. Ketergantungan Adaro atas bisnis batu bara memiliki risiko yang sangat tinggi bagi para investor perusahaan ini.

Berdasarkan laporan IEEFA, saat ini lebih dari 200 lembaga keuangan telah memiliki kebijakan pembatasan investasi batubara. Bank seperti DBS, Standard Chartered dan OCBC telah menyatakan tidak akan terlibat dalam pembiayaan ke Adaro. HSBC telah memiliki kebijakan khusus untuk tidak membiayai pembangunan PLTU batubara captive untuk industri.

“Jika Adaro masih tidak menunjukkan upaya transisi keluar dari bisnis batubara yang serius, institusi keuangan yang bertanggung jawab sebaiknya tidak mendukung bisnis Adaro”, tegas Abdi, salah satu pemegang saham Adaro lainnya.

Adaro sendiri telah menandatangani PPA dengan PLN untuk pembangkit listrik tenaga angin di Kalimantan sebesar 70 MW. Berdasarkan laporan keuangan Adaro tahun 2022, Adaro  memiliki kas sebesar US$2.7miliar. Transisi Adaro seharusnya dilakukan dengan menghentikan rencana pembangunan PLTU batubara baru dan mengedepankan belanja modal untuk berinvestasi pada energi terbarukan.
***

Email: [email protected]
WA: 089657444900
Kami hadir di GOOGLE NEWS

Posting Komentar

Berikan komentar terbaikmu!
© 2015 - rizensia| All rights reserved.
Sahabat Investasi Kamu!